Gerakan Nasional Non Tunai
Essay by Nadya Loebis • October 10, 2016 • Essay • 2,086 Words (9 Pages) • 1,334 Views
Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra moderen. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang. Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper based), misalnya, cek dan bilyet giro, dan dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar).
Dengan teknologi yang semakin maju yang diterapkan pada sistem keuangan perbankan yang terintegrasi, banyak negara-negara di dunia sudah mulai meninggalkan uang kartal secara konvensional dalam bentuk uang kertas dan koin dan menerapkan transaksi non tunai. Transaksi non tunai bukanlah suatu hal yang baru karena sebelumnya bank sudah memiliki berbagai produk perbankan yang menawarkan jasa pembayaran, seperti cek, kartu debit dan kredit, kartu uang elektronik E-Money/Flazz, dengan berbagai metode seperti RTGS (real time gross settlement) dan SKNBI, namun kini yang mulai populer di negara-negara asing adalah transaksi keuangan secara electronic based, contohnya Bitcoin, Google Wallet, Apple Pay, dan Samsung Pay. Transaksi virtual ini bahkan tidak perlu menggunakan kartu layaknya kartu debit atau kartu uang elektronik E-Money, cukup dengan membawa telepon seluler ke merchant yang didukung, pembayaran dapat dilakukan seketika. Dengan adanya aplikasi dompet elektronik (mobile wallet) yang semakin populer, dapat diprediksi penggunaan gerai ATM akan mulai ditinggalkan. Di berbagai negara Eropa seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia sudah mulai melakukan transaksi non tunai secara menyeluruh, bahkan untuk transaksi ukuran kecil seperti pembelian koran, dengan harapan negara-negara tersebut bisa mencapai cashless society pada tahun 2016.
Dibandingkan negara-negara ASEAN, penggunaan transaksi pembayaran berbasis elektronik yang dilakukan masyarakat Indonesia relatif masih rendah, sementara dengan kondisi geografi dan jumlah populasi yang cukup besar, masih terdapat potensi yang cukup besar untuk perluasan akses layanan sistem pembayaran di Indonesia. Bank Indonesia (BI) menilai penggunaan sistem pembayaran non-tunai tumbuh pesat di Tanah Air dan sangat potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan catatan BI, hingga Juli 2015 tercatat 106 juta kartu ATM debit dan 16 juta kartu kredit di gunakan masyarakat Indonesia, dengan rata-rata pertumbuhan 20 persen per tahun. Sedangkan transaksi bernilai besar melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) BI, tercatat rata-rata nilai transaksi hariannya pada Juli 2015 mencapai sekitar Rp 242 triliun dan untuk Sistem Kliring Nasional (SKN) BI rata-rata nilai transaksi harian mencapai Rp 12 triliun. Namun sayangnya, menurut data Bank Indonesia transaksi non tunai selama 2014 hanya 31 persen dari jumlah keseluruhan transaksi sejumlah 7.500 triliun.
Untuk itu, Bank Indonesia bersama perbankan sebagai pemain utama dalam penyediaan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat perlu memiliki visi yang sama dan komitmen yang kuat untuk mendorong penggunaan transaksi non tunai oleh masyarakat dalam mewujudkan cashless society. Atas dasar itulah, Bank Indonesia pada bulan Agustus 2014 meresmikan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya transaksi non tunai. Di Jakarta sendiri, GNNT sudah dimulai dengan sangat intensif. moda transportasi seperti kereta Commuter Jabodetabek dan bus TransJakarta hanya melayani transaksi non tunai bagi penumpangnya. Selain moda transportasi, swalayan, supermarket, pom bensin, jalan tol dan beberapa arena hiburan di Jakarta juga lebih memilih untuk menggalakkan transaksi non tunai. Selain layanan dari bank seperti BNI dengan Tapcash, Mandiri dengan e-money, BCA dengan Flazz, BRI dengan Brizzi, CIMB Niaga dengan Rekening Ponsel, operator seluler memiliki fasilitas pembayaran elektronik, Indosat dengan Dompetku, XL dengan XL Tunai, Telkomsel dengan T-Cash.
Penggunaan transaksi non-tunai berdasar pada Peraturan Bank Indonesia nomor 16/8/PBI/2014 tanggal 8 April 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money), Peraturan Bank Indonesia no 16/1/PBI/2014 tanggal 21 Januari 2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran, dan Peraturan Bank Indonesia no.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Model transaksi non tunai yang saat ini populer di Indonesia adalah model uang elektronik, contohnya E-Money (Bank Mandiri), Flazz (BCA), dan Brizzi (BRI). Uang elektronik menurut Bank Indonesia memiliki 4 karakteristik yaitu disetor di awal, disimpan dalam media tertentu, fungsi utama sebagai alat pembayaran, dan sifatnya bukan simpanan (tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan) dan tidak memperoleh bunga. Sejumlah dana yang telah masuk ke dalam chip atau server tidak bisa lagi diuangkan kembali dan tidak memiliki masa berlaku.
Program GNNT yang saat ini sedang dijalankan terus-menerus oleh Bank Indonesia dan dunia perbankan dinilai memiliki banyak manfaat bagi lalu lintas pembayaran di Indonesia. Salah satunya adalah sistem keamanan yang terstruktur dan lebih terjamin dengan adanya chip dan PIN. Dengan teknologi yang sedang dikembangkan, transaksi non tunai juga diprediksi kedepannya akan menggunakan biometric identification, yaitu identifikasi menggunakan sidik jari, mata, wajah, detak jantung, atau suara. Apabila kartu debit atau kredit hilang, nasabah bisa meminta bank untuk memblokir akun tersebut agar tidak bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Transaksi nontunai juga mempermudah untuk melacak tindakan kriminal, seperti korupsi dan gratifikasi.
GNNT juga dinilai sebagai solusi dari berbagai kelemahan uang kartal konvensional yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Berbagai kelemahan uang kartal antara lain:
- Rawan salah hitung dalam transaksi tunai dan lemahnya pencatatan transaksi tunai menggunakan uang kartal.
- Butuhnya ruang dalam penyimpanan alat pembayaranya, apalagi dalam jumlah nominal yang besar, maka otomatis kita juga butuh ruang yang besar pula untuk menyimpannya.
- Kurangnya keamanan: karena dalam penjagaan alat tukar non tunai sendiri tidak tersistem, dalam artian kita sendiri lah yang menanggung keamanan dari uang yang kita bawa, beda halnya dengan pembayaran yang menggunakan sistem non tunai.
- Tidak efisien. Jika bertransaksi tunai, sebagai pedagang atau penyedia layanan harus menyiapkan uang kembalian yang cukup. Contohnya, dalam sehari saja PT Jasa Marga harus menyediakan uang Rp 2M untuk uang kembalian. Untuk menyiapkan uang kembalian ini, juga memakan waktu sehingga membuat transaksi berjalan lama. Tidak hanya itu saja, sebagai pembeli kita juga harus menyiapkan uang pas jika tidak mau kerepotan.
- Biaya pembuatan, perawatan dan pemusnahan uang yang besar. Menurut mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald, biaya pencetakan uang baru pada tahun 2012 mencapai Rp 160 triliun. Nilai tersebut mencakup biaya kertas, pencetakan hingga ongkos transportasi sehingga pertahun akan mengalami peningkatan sebesar 10 persen. Sedangkan untuk biaya transportasi buat menyebarkan uang ke berbagai daerah mencapai angka Rp 10 triliun.
- Uang kartal rawan dipalsukan. Transaksi non tunai meminimalisir peredaran uang palsu karena tidak menggunakan uang tunai yang mudah dipalsukan atau dilipatgandakan. Jika semakin banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan transaksi non-tunai, tentunya akan memberi angin segar kepada pedagang karena tidak perlu khawatir lagi menerima pembayaran menggunakan uang palsu.
Tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, industri perbankan juga merasakan manfaat dari adanya GNNT, yaitu dengan fee based income. Corporate Secretary Bank BRI, Budi Satria mengatakan total fee base income yang diraih Bank BRI dari transaksi dengan menggunakan mesin EDC pada tahun 2014 mencapai Rp. 204,89 Miliar. Angka ini meningkat 137 persen dari tahun 2013 yang sebesar Rp. 86,34 miliar. Di tahun 2015, pihaknya menargetkan transaksi non tunai melalui EDC hingga Rp 13 triliun, dengan jumlah transaksi sebanyak 14 juta transaksi serta pertumbuhan fee base income dari penggunaan mesin EDC berkisar antara 20 – 25%. Budi menambahkan, strategi untuk mencapai target tersebut adalah dengan memperbanyak mesin – mesin EDC serta bekerja sama dengan merchant terbaik untuk menjalankan loyalty program.
...
...