Memasyarakatkan Alkitab Atau Meng(Al)Kitabkan Masyarakat?
Essay by 24 • September 16, 2010 • 4,375 Words (18 Pages) • 1,447 Views
Essay Preview: Memasyarakatkan Alkitab Atau Meng(Al)Kitabkan Masyarakat?
Memasyarakatkan Alkitab atau meng(al)kitabkan masyarakat?
Tantangan dan Kesempatan bagi metode BGA dalam konteks
kelisanan dan keberaksaraan
Makalah ini disajikan dalam salah satu sesi dalam pelatihan Tim Pelayanan Proyek Philadelphia (TP3) pada tanggal 26 Juli 2004, di Wisma Anugerah, Cisarua, Bogor.
Pengantar
Makalah ini merupakan bentuk konkretisasi dari refleksi saya berdasarkan berbagai pergumulan berteologi serta pengalaman melayani dalam pembinaan BGA serta berdasarkan karya sehari-hari sebagai anggota staf penerbitan Yayasan PPA. Sebelumnya saya pernah menyusun dan menyajikan beberapa renungan dan makalah yang telah saya sajikan dalam berbagai pertemuan internal PPA. Perkembangan serta perubahan pemikiran saya setelah saat-saat tersebut kini tertuang dalam makalah ini.
Melalui judul dari makalah ini, saya ingin menunjukkan bahwa masih ada beberapa kebijakan, pemikiran, dasar ideologis-teologis dll. yang berkaitan dengan metode BGA, yang masih perlu diperjelas. Judul dari makalah ini menyiratkan salah satu dari beberapa pilihan yang harus diambil: memasyarakatkan Alkitab atau justru meng(al)kitabkan masyarakat. Tujuan makalah ini adalah untuk mengajak kita memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, serta pendapat saya tentang jawaban-jawabannya bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mencari udang di balik batu: Konteks keberaksaraan, kelisanan, dan kemajemukan media dalam gaya hidup orang Indonesia
Ada banyak istilah yang digunakan orang untuk menjelaskan kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Ada yang menggunakan istilah melek huruf, keaksaraan, keberaksaraan dll. Dalam makalah ini, saya akan menggunakan istilah ÐŽ®keberaksaraanЎЇ untuk menunjuk kondisi masyarakat yang secara umum didasarkan pada kemampuan membaca dan menulis, dan ÐŽ®melek hurufЎЇ untuk kondisi seseorang. Untuk kondisi seseorang yang tidak mampu membaca dan menulis saya menggunakan istilah ÐŽ®buta hurufЎЇ, sementara ÐŽ®kelisananЎЇ menunjuk kepada kondisi masyarakat yang lebih didominasi oleh ujaran verbal ketimbang teks tertulis. Saya juga ingin memperjelas makna dari satu istilah yang saya gunakan dalam makalah ini. Mengikuti definisi yang digunakan oleh UNESCO, ÐŽ®bukuЎЇ atau ÐŽ®kitabЎЇ adalah bahan cetak yang terdiri dari 49 halaman atau lebih, tidak termasuk halaman sampulnya.
Menurut Susenas/Statistik Pendidikan, proporsi penduduk buta huruf usia 10 tahun ke atas adalah sebagai berikut:
Jenis Kelamin Kota Desa Kota dan Desa
Pria 3.76 10.32 7.52
Wanita 9.44 20.17 15.54
Pria dan Wanita 6.63 15.53 11.55
Beda Wanita Pria 5.68 9.85 8.02
Angka ini bisa kita bandingkan dengan tabel keberaksaraan penduduk dunia menurut wilayahnya yang ada di bawah ini. Secara sekilas, kelihatannya taraf keberaksaraan penduduk Indonesia, termasuk umat Kristen di dalamnya, telah mencapai angka yang cukup menggembirakan. Kita dapat mengandaikan bahwa penduduk Indonesia beragama Kristen (yang pada tahun 2000, demikian menurut LP3ES, berjumlah 17.954.977 jiwa atau 8,92% dari keseluruhan jumlah penduduk ) juga memiliki persentase keberaksaraan yang kurang lebih sama dengan komponen penduduk Indonesia lainnya. Bila angka-angka ini benar, maka kelihatannya tersedia ladang yang cukup besar bagi pelayanan pencetakan Alkitab serta literatur penyertanya (sekitar 15 juta jiwa orang Kristen yang dikategorikan tidak buta huruf).
Akan tetapi, data-data diatas masih perlu kita tambahkan dengan kualifikasi-kualifikasi penting. Mungkin ada sebagian dari data-data di atas yang mungkin masih didasarkan pada definisi melek huruf berikut ini: kemampuan seseorang untuk membaca, mengeja, serta menuliskan namanya sendiri, atau paling tidak mampu memiliki kemampuan dasar untuk baca-tulis dan berhitung (mis.: mampu membaca kalimat pendek ). Ada suatu implikasi yang tersirat dari definisi ini, yaitu orang yang telah masuk kategori melek huruf belum tentu mampu membaca dan mengerti teks-teks tertulis yang ÐŽ®sulitЎЇ dan menuntut ketrampilan membaca yang lebih tinggi.
Kondisi ini nyata kita temukan dalam pelayanan kita sehari-hari sebagai hamba Tuhan dan, khususnya, sebagai anggota tim pelayanan proyek Philadelphia. Banyak orang yang mengeluhkan merasa kesulitan untuk membaca Alkitab dan ber-BGA pribadi karena merasa sulit membaca. Apalagi, teks Alkitab yang biasa digunakan sebagian besar gereja adalah teks yang menuntut keterampilan membaca yang cukup tinggi (bukan sesuatu yang luar biasa bila kita menemukan di dalam Alkitab paragraf yang terdiri dari satu (!) kalimat panjang dan bertingkat seperti 2Pet. 2:4-10a ). Kadang-kadang terjadi sesi-sesi pelatihan BGA/PA yang dimulai dengan pengantar yang ilustratif sehingga membuat para peserta begitu bergairah, namun kehilangan momentum ketika para peserta diminta untuk mencoba/mem-BGA-kan sendiri suatu nas Alkitab; atau para peserta justru makin yakin mereka lebih membutuhkan bimbingan seorang pembina dan belum ÐŽomampuÐŽ± ber-BGA secara mandiri. Semua ini terjadi bahkan dalam sesi-sesi BGA yang diikuti oleh kalangan orang yang sehari-hari memang sudah melek huruf dan terbiasa membaca dan menulis.
Karena itu sempat menjadi tren di kalangan pendidik untuk membedakan ÐŽosekadarÐŽ± melek huruf dengan melek huruf fungsional. Berikut definisi Kusnadi dkk. tentang buta huruf fungsional dan melek huruf fungsional:
ÐŽo... (3) Seseorang yang buta huruf fungsional adalah orang yang tidak mampu terlibat dalam semua kegiatan yang memerlukan kemampuan melek huruf, dan juga tidak mempunyai akses untuk melanjutkan penggunaan kemampuan baca-tulis-hitung untuk pengembangan diri dan lingkungan masyarakatnya; (4) Sebaliknya seorang yang melek huruf fungsional adalah [sic] yang terlibat dalam semua kegiatan yang memerlukan kemampuan melek huruf, dan juga mempunyai akses untuk pengembangan diri dan lingkungan masyarakatnya; ....ÐŽ±
Pendefinisian ini terfokus pada perihal kemampuan serta akses pengembangan. Michael Holzmann, seorang pakar pendidikan, lebih memilih untuk menggunakan istilah active literacy (melek huruf aktif) dan nominal literacy (melek huruf nominal). Holzmann mendefinisikan melek huruf aktif sebagai ÐŽokemampuan melek huruf yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari seseorangÐŽ± sementara melek huruf nominal adalah keadaan di mana seseorang hanya berstatus melek huruf namun tidak menggunakan kemampuannya itu sehari-hari.
Definisi-definisi di atas memberikan suatu
...
...